Friday, December 22, 2006


Being Happy

Jakarta, July 15, 2006


Kenapa kamu ingin menikah?

Pertanyaan ini timbul sesaat sebelum aku memutuskan menikah dengannya, ya dengan suami ku sekarang.

Tapi tidak hanya pada waktu sesaat sebelum aku memutuskan menikah. Setelah memutuskannya, saat menikah, setelah menikah, dan hingga kini aku hidup bersamanya, pertanyaan itu selalu ada dibenakku. Seakan tidak pernah habis pertanyaan itu timbul terus.

Lalu apa jawabannya? Aku ingin bahagia.

Simpel kan? Aku memang dari awal tidak ingin muluk2 ‘membuat’ alasan supaya aku bisa menikah.

Ingin punya anak bersama nya, ingin membina keluarga yang sakinah mawadah warohmah, bukan, bukan itu. Maap bukan berarti aku tidak menginginkan itu semua, tapi aku ingin menjadikannya sesuatu yg simple aja kok.

BAHAGIA.

Bahagia yang seperti apa ya? Aku gak tau.. yang aku tau.. BAHAGIA. Aku bahagia apabila bersama nya, aku bahagia saat tidak bersamanya. Bahagia itu ada saat aku dengannya. Indescribable deh pokoknya.

Ternyata. Setelah aku menikah, bahagia itu tidak simple seperti yang aku bayangkan. Mendadak, definisi bahagia berubah bentuk menjadi 1001 bentuk, dan selalu berubah sewaktu waktu. Aneh.

Kenapa? Aku gak tau. sepertinya emosi dan keegoisan ku sudah menguasai kebahagiaan impian, perlakuan yang terlalu over protektif, curiga yg berlebihan, melanggar privacy, dan banyak lagi, aku lakuakan semuanya atas nama kebahagiaan.

Parah sekali, impianku di rusak, dikoyak dengan sendirinya oleh ‘bahagia’ ku.

Dan apakah aku bahagia setelahnya?
No I don’t.

Sepertinya, aku sedikit tidak bahagia,

Ok ini untuk pembelaan diri,

Kalau di runut, semuanya bukan sepenuhnya yang aku inginkan, Saya perempuan, saya (katanya) mahluk lemah, ‘berjalan’ diatas emosi, wajar dong…

Apa iya, suami saya tidak ‘bersalah ‘sama sekali? Apa iya tiba2 saya ‘ngamuk2’ ‘marah’ . kalau kelakuan suami saya memang saya rasa, wajar untuk diberi perlakuan seperti itu..

I feel we are not a team anymore, see.. he has ‘big’ secret, how do I know that it’s so big??

Kebohongan, rahasia, apapun, kecil atau besar yang disembunyikan suami kepada istri, apa itu tidak besar?? Disembuyikan digaris bawahi ya, pake bold, ama italic.

Wajar gak pembelaanku ini?

“ ya… tergantung..” ß ini biasanya jawaban2 suami aku, ga pasti2 aja mas? Hehehe..

Ya tergantung, apakah kamu wanita
Ya tergantung, apakah kamu laki2
Ya tergantung, apakah kamu seseorang yang tau rahasia suami ku
Ya tergantung, apakah kamu SUAMI ku.. ahhahahhahaha

Sampai sekarang terhitung, sekitar 7 bulan ya aku menikah, kok susah sekali mencari solusi nya.

My husband has a lot of BIG BIG BIG Secret….
Kalau kata temen ku, “ Kamu tu, emang dari pacaran, gak pernah ya ngomong dari hati ke hati?? “
“ Ntar kalo udah ada masalah, nangis nya ke aku, begitu terus, mbok ya diomongin!”

Sometimes, aku males banget membicarakan ini semua, padahal aku tau, ini adalah bom waktu. Aneh ya, kok bisa males lho,
Kayanya sih aku istrinya, tapi kadang, kalau aku ingin memulai suatu pembicaran serius, tanggapan suami selalu dengan emosi, selalu dengan darah yang naik, selalu memojokkan aku. Ya dasar nya, aku tu emang udah males ama orang2 macem gitu, mendingan ngalah, gak ribut, damai. Males ah denger suamiku bicara dengan nada tinggi (sekali) padahal, aku sudah mencoba dengan intonasi yang tidak “ curiga, pengen tau, memojokkan” lah kurang apa ya aku ini, kok suami ku begitu sifatnya?

PEACE MAN.. !!

Emosinya memang sedikit tidak bisa di control, padahal udah lumayan lho umurnya, kok ya darah tinggian ya??

Bikin malu, kalo liat dia marah2, malu ama orang lain, kalo pas di tempat umum ya,, kok kaya’e aku sebagai istri tidak diberi kesempatan berbicara, bisa nya Cuma bisa nrimo.

Aku memang berdarah Jawa dan di besarkan di Jokja, Nrimo, berbicara tanpa mau menyakiti lawan bicaranya, menggunakan intonasi yang rendah. Pokoknya tipikal orang jawa banget.

Beda dengan suami ku yang katanya orang jawa, tapi gak ada sedikit2 nya keliatan sifat dan sikap orang jawa. Aneh, malah terkesan Betawi, yang suka njeplak seenaknya, ngomong dengan suara keras. Dan cenderung SANGAT CUEK.

Seharusnya aku bisa mengendalikan ini semua buat suami ku, tapi entah , kurang apa aku? Sepertinya kok tidak dihargai.

-end-

Sedih hari ini,suami ku tidak mau berbagi cerita, hiding something, aku merasa bukan istrinya.
Aku cemburu Tuhan, Apa aku sudah bahagia??
Pertanyaan ku

Kapan ya terakhir aku bercinta dengan suami ku?
Kapan ya terakhir aku bisa bermesraan dengan suami ku?
Kapan ya terakhir aku melepas cincin kawin ku?

Lah, aku lupa. Mungkin sebulan yang lalu?
Atau mungkin sebelum aku duduk di pelaminan?

Ah segalanya berlalu begitu cepat, hingga aku sudah cepat bisa melupakan semua ini, ataukah sebenarnya aku tidak boleh melupakan semua ini?

Yang bisa aku ingat adalah beberapa pertanyaan dan jawaban nya.

Ketika aku bertanya,
Mengapa sudah lama sekali kamu tidak menyentuhku?
Seketika itu kamu menjawab,
Belum saat nya.

Setelah beberapa lama kemudian.

Ketika aku bertanya,
Mengapa sudah lama sekali kamu tidak menyentuhku?
Seketika itu kamu menjawab,
Nanti setelah semuanya sudah berakhir.

Apa? Apa?

Seketika itu pun aku Cuma bisa terdiam. Diam, membisu, seperti debu yang beterbangan ditelan bisu nya angin malam.

Ketika aku bertanya,
Mengapa kamu lupa dengan cincinmu?
Seketika itu kamu menjawab,
Entah kemana

Ketika aku bertanya,
Mengapa kamu lupa dengan cincinmu?
Seketika itu kamu menjawab,
Entah tertinggal

Seketika itu pula, aku melepas cincinku, dan berkata.
Sudah, lupakan semua ini. Dan tinggalkan semua ini.

Tapi nampaknya, kamu tidak mengerti.
Di suatu hari yang lalu. Kamu malah bertanya dimana cincinku dan cincinmu.
Seketika itu aku menjawab,
Buat apa kamu cari cincin yang menurut mu sudah hilang dan tertinggal itu?
Tampaknya kamu bingung.

Dengan kebingungan mu, aku akhirnya mengais-ngais sisa-sisa perjuangan cincin kami. Dan aku menyerah memberikan nya padamu.
Tentu, untuk kami pakai.

Tampak nya cincin mu tak begitu betah bertengger di jari manis tangan kanan mu. Hanya dalam hitungan hari, cincinmu sudah istirahat kembali di dalam peraduannya. Tenang sepertinya. Ku simpan cincinmu, kembali bersama cincinku.

Ketika aku gundah dengan semua ini, aku coba untuk kembali pada mu.
Tapi kembali kutemukan berjuta juta pertanyaan dalam kehidupan kami.

Memang tak seperti saat mengucap janji, ternyata hampa.
Hampa sangat terasa setelah aku sadar, bahwa aku hanya seorang Istri Pajangan.

Apa yang bisa aku harapkan, setelah aku sadar bahwa aku hanya istri pajangan?

-Ungkapan seorang istri, yang menjadi vas pajangan -
Pada Suatu Malam II

“Lho??” ( Kata suami)

Istri : begitu tenang, dan lega terlihat dari pancaran wajahnya.

Seorang istri, harus bisa hidup mandiri dan sendiri.
Bukan, bukan karena alasan mandiri, istri minta cerai. tapi ini adalah dasar utama seorang wanita menikah.

Dulu Waktu aku mau menikah, ada beberapa hal yang harus, kudu, wajib ada.

Rumah :
Lha mau tinggal dimana??? Kalo gak ada rumah?? Dulu , waktu suami saya mengajak menikah, permintaan pertama saya adalah rumah. Rumah yang ‘permanent’ dalam arti gak ngontrak. Banyak yang bilang,
- ngontrak aja : lha mendingan uang kontrakan nya buat nyicil BTN (untungnya suami saya juga punya prinsip yang sama. Gak begitu suka ngontrak)
- Tinggal di rumah mertua aja. : aduh… untuk yang satu ini saya no comment
- Tinggal ama orang tua aja dulu : Waduh… malu kaleee…

Pekerjaan :
Perlu banget banget banget. .. yang udah pasti ya seorang suami harus bisa menghidupi Rumah Tangga nya.

ini kata suami saya pada saat saya meminta komentarnya tentang suami yang tidak punya pegangan buat menghidupi rumah tangga nya

Selain suami, Saya juga merasa “Wajib” mencari nafkah.
Kenapa?? Saya belajar dari kehidupan orang tua saya. Dimana Papa saya wafat, dan mama saya tidak punya keahlian apa2 saat itu, selain menjadi ibu rumah tangga. Padahal waktu itu kami masih sangat kecil.

Bukan untuk ‘menyaingi’ suami ya, tapikerja menurut saya adalah, harus!

Waktu itu, sebelum dilamar, saya meminta waktu pada suami saya, untuk mencari pekerjaan yang ‘layak’ dan ‘aman’. Alhamdulillah, setelah saya diangkat menjadi tetap, saat itu juga saya bersedia dilamar.

Nah , menurut saya, dasar nya itu dulu lah. Masalah saling mencintai,? Lha of course to. Agama sama ya kudu.

Sebenarnya yang ingin saya tekanin adalah bagaimana seorang istri harus menghadapi kemungkinan2 yang terburuk sekalipun. Jangan terlalu bergantung pada suami.

Pernah ada orang yang bilang ke saya, “ seorang istri harus tergantung pada suami… blab la bla… “ kesan yang saya tangkap waktu itu adalah seorang istri harus lemah, hidup dirumah, hanya bisa mendesah, dan tidak bisa marah.

Sedikit tidak setuju. Sebuah ketergantungan pada suami, ya memang tidak boleh dihilangkan. Bisa2 seorang suami tidak ada harganya dimata istri. Tapi. Istri Tidak boleh ‘terikat’dan tersekat. Kehidupan wanita sebagai istri harus terangkat.


“Sebelum menikah, kamu harus bisa menghidupi bisa diri sendiri”

Thursday, December 21, 2006


Pekerjaan

Setelah beberapa lama tidak ada komunikasi, senja itu, teman kuliah saya mengirim massage lewat YM.

Senja itu sebenarnya saya sedang di sibuk kan dengan pekerjaan Kantor yg di kejar dead line.

Tapi itu yang satu ini, saya rasa, saya harus sedikit ‘meleng’ dari jenuh nya pekerjaan, dengan menjawab massage tadi.

Teman saya namanya Pram, Lengkapnya Pramadi Jatmika. Teman kuliah . Kalau tidak salah, selama 3 tahun saya menimba ilmu disana, saya selalu 1 kelas dengannya. Bahkan karena arah tujuan pulang kita sama, tidak jarang saya pulang rame2 bersama dia dan teman lainnya yang searah.

Pram, memang sedikit pendiam, kalau tidak di ajak ngobrol. lebih sering saya cenderung mengajak ngobrol teman saya lainnya.Selain itu dia sedikit perfectionist.

Topik nya biasa, seputar pekerjaan dan kegitannya di kantor. Dia mengeluh dengan pekerjaannya yang serabutan, tidak ada over time dan sebagainya. Pram cerita, sebentar lagi dia mau resign.

Setelah resign dia mau sedikit istirahat. Alasannya supaya dia bisa lebih leluasa apabila ada interview. Sudah melewatkan 3 interview katanya.

Kata saya, kan bisa menggunakan cuti mu untuk interview, gak enak katanya.

Ya memang tidak enak, dia baru bekerja di tempat itu sekitar 3 bulanan.

Yang saya tidak habis pikir adalah, dia begitu berani meninggalkan pekerjaan nya yg sekarang tanpa ada pekerjaan baru didepan matanya.

Saya dulu juga pernah bekerja 1 tahun penuh, dengan begitu tidak nyamannya lingkungan, bos dan pekerjaan yg diluar porsi ‘makan ‘ saya. Tapi saya pikir pekerjaan adalah belajar, disana saya harus menggali ilmu sebanyak banyak nya. Konsentrasi. Setelah itu barulah kita mencari yang lebih baik.

Banyak sekali teman2 saya yang belum mendapatkan pekerjaan. Ya memang, kalau tinggal dijakarta harus punya skill, kalau tidak punya bakalan susah cari pekerjaan. Saya tidak punya skill apapun, makanya saya merasa harus banyak menimba ilmu. Setelahnya insya allah salary saya tidak jauh dari pekerja skill.

Saya mengakhiri pembicraan 30 menit itu, karena saya harus sholat dan pram harus bekerja.